Aku
tidak pernah ingat. Tetapi kata mereka, pada awalnya aku hanyalah perpaduan
antara tulang, daging, darah, dan organ-organ penting yang menakjubkan. Kata
mereka pula selama sembilan bulan aku berada dalam tempat paling nyaman dan
aman: rahim ibu. Aku tidak ingat bagaimana rasanya ketika keluar dari sana.
Tetapi jam dan tanggal itu telah ditetapkan sebagai hari kelahiranku, sekaligus
waktu dimana untuk pertama kalinya aku berkenalan denganmu: Bumi.
Mungkin
aku pelupa. Tapi aku benar-benar tidak ingat bagaimana rasanya tinggal di Bumi
untuk pertama kali. Mungkin Bumi terasa hangat, mengingat ibuku langsung
mendekapku untuk memberi air susu. Mungkin juga Bumi terasa terang, karena
pencahayaan kamar bersalin rumah sakit yang seringkali menyilaukan. Apapun itu
aku tak ingat. Tapi mungkin pada awalnya, Bumi terasa menyenangkan.
Aku mulai
berkenalan dengan Bumi lewat merasakannya satu-satu: saat aku belajar merangkak
dan berjalan di tanah; saat aku bermain membuat masakan dari pohon pisang dan
tanaman sekitar; saat aku merasakan sendiri berlari dan basah kuyup ketika
bermain di tengah hujan; juga ketika diam-diam aku sering curi-curi pandang
dengan bulan bintang ketika malam. Kala itu otak kecilku mungkin tidak tahu
apa-apa. Tapi aku merasai sendiri dengan seluruh indraku. Tempat bermain yang
menyenangkan: Bumi.
Usialah
yang kemudian membawaku ke bangku sekolah. Di sana aku banyak mendengar cerita
tentang Bumi. Bagaimana bentuknya, apa komposisinya, apa material yang
terkandung di dalamnya, siapa saja yang hidup di atasnya, dan berbagai cerita
lain yang sebagian besar belum aku lihat dengan mataku sendiri. Semua cerita
itu kemudian menjadi materi hapalan untuk kepentingan ujian kelas, atau hal
akademik lainnya. Aku menjadi tahu tentang Bumi. Hanya sekedar tahu. Tidak
mengenalnya, ataupun merasainya lagi.
Kemudian
waktu membawaku melesat dengan berbagai hal asyik lain. Sehingga aku lupa bertanya,
bagaimana kabar Bumi? Temanku semakin banyak, aku bertambah tinggi, sekolahku
semakin tinggi. Tapi tidak pernah terpikirkan olehku, bagaimana keadaan Bumi?
Lagi-lagi
waktu berperan sebagai penyadar orang-orang lupa sepertiku. Semua mulai
menyadari bahwa dirimu, Bumi, sedang tidak baik-baik saja. Kamu demam. Suhumu
meningkat. Sehingga es di kedua kutupmu mulai mencair. Badanmu panas. Karena
lapisan ozonmu bolong disana-sini, menipis. Rutinitasmu menjadi berubah, Bumi.
Jika dulu aku hapal benar bahwa musim hujan akan terjadi di bulan Oktober
sampai Maret dan musim kemarau di bulan April sampai September, sekarang belum
tentu. Hujan dan kemaraumu kini datang lebih lambat, atau kadang lebih cepat,
tidak tepat waktu.
Aku
cukup sadar, Bumi, sakitmu bukan tanpa alasan. Demam yang kau alami bukan
karena peristiwa satu malam. Melainkan karena aktivitas manusia selama 250
tahun terakhir. Buktinya, para manusia sepertiku baru mengetahui bahwa kami menciptakan
pulau baru di Samudera Pasifik. Pulau itu adalah tempat sampah plastik raksasa
yang mengapung di tengah laut. Suatu akumulasi sampah dari penduduk Bumi yang
acuh tentang kebersihan. Dan lihatlah, lautmu yang kaya ikan menambah kekayaan
baru: sampah.
Aku
suka makan daging. Tanpa aku sadar bahwa industri peternakan adalah penghasil
emisi gas rumah kaca terbesar (18%)[1]. Hampir seperlima dari
penyebab kenaikan suhumu ternyata akibat dari berkembang pesatnya industri
peternakan karena animo manusia yang besar terhadap daging. Bayangkan! Jumlah
ini bahkan lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca dari seluruh alat
transportasi di seluruh dunia yang hanya 13%! Ditambah lagi sektor peternakan
menyumbang 9% karbon dioksida, 37% gas metana (mempunyai efek pemanasan 72 kali
lebih kuat dari CO2 dalam jangka waktu 20 tahun dan 23 kali dalam jangka 100
tahun), serta 65% dinitrogen oksida (mempunyai efek pemanasan 296 kali lebih
kuat dari CO2).[2]
Tidak cukup itu, peternakan kini juga telah menggunakan tiga puluh persen dari
total lahanmu, belum ditambah lahan untuk menanam makanan ternak. Bahkan lebih
dari separuh bekas hutan di Amazon telah dialih-fungsikan menjadi ladang
ternak. Kata UNEP (United Nations Environment Program) pula, pola makan daging
untuk setiap orang per tahunnya menyumbang 6.700 kg CO2.[3] Oh Bumi, aku berharap bisa
menjadi vegetarian!
Bumi,
suatu ketika aku membaca:
“Manusia berbagi 63%
kesamaan gen dengan Protozoa, 66% kesamaan dengan gen Jagung, 75% dengan
Cacing. Dengan sesama kera-kera besar, perbedaan kita tidak lebih dari tiga
persen. Kita berbagi 97% gen yang sama dengan orangutan. Namun, sisa tiga
persen itu telah menjadikan pemusnah spesiesnya. Manusia menjadi predator nomor
satu di planet ini karena segelintir saja gen berbeda.”[4]
Bisa
kita lihat? Bisakah membayangkan betapa malunya aku sebagai spesies manusia
yang dengan egoisnya merusak Bumi? Padahal manusia hanya salah satu jenis dari berbagai
jenis makhluk hidup yang tinggal di Bumi. Tapi dalam keogeisannya,
ketidakpeduliannya, dan kesombongannya, manusia telah menjadi aktor utama yang
paling bertanggung jawab dengan kerusakan Bumi. Untuk mengejar kesenangan
hidupnya, manusia membabi buta membakar hutan, menutup area persawahan, memburu
hewan hingga punah. Manusia berubah menjadi monster yang menyeramkan untuk
makhluk hidup lain.
Memang
manusia makhluk pelupa. Ia tidak ingat saat pertama kali ia diluncurkan ke Bumi
dengan tidak membawa apa-apa, telanjang. Tapi Bumi memberinya banyak: tempat,
air, udara, semua materi untuk melangsungkan hidup. Tapi anehnya, manusia juga
yang merusak tanah, air, udara, dan segala sesuatu yang menghidupinya itu.
Karena keserakahannya, hutan dialih-fungsikan sebagai pengeruk kekayaan;
orangutan, gajah, harimau, dan binatang lainnya terusir dari habitatnya
sendiri. Gedung pencakar langit dibangun dimana-mana. Tanah tercemar, cadangan
air tanah menipis, udara penuh polusi.
![]() |
Sumber: Google |
Jangan
terkejut ketika mengetahui kini jarang sekali ada sungai yang bersih untuk
bermain anak-anak seperti dulu. Jangan terkejut ketika banjir. Lha wong tanahnya ditanami beton gitu, gimana airnya mau meresap? Juga
jangan terkejut jika mungkin saja nanti tidak ada udara untuk bernapas. Karena
lapisan atmosfer yang terus menipis dan pohon sebagai penyuplay oksigen terus
ditebas. Jangan terkejut, wahai manusia, jika mungkin suatu saat nanti hanya
spesiesmulah yang tinggal sendiri di Bumi. Itukah yang kita inginkan?
Bumi
sedang sakit, kita semua tahu itu. Tidakkah kita ingin berbuat sesuatu? Apa
selain pelupa, manusia juga tidak tahu caranya berterimakasih? Mari kita
berhenti untuk tidak peduli kepada Bumi. Mari kita mengingat Bumi. Mari kita
bergerak memperbaiki Bumi. Mari mulai dengan hal-hal kecil seperti membuang dan
mengolah sampah secara tepat, menanam pohon, mengurang konsumsi daging,
menghemat energi, mengurangi aktivitas yang dapat mencemari air, udara, tanah,
dan lain sebagainya. Tidak perlu menunggu komando orang lain. Bumi sejak awal
selalu berbaik hati memberi kita tempat untuk tumbuh dan berkembang hingga
seperti saat ini. Tidakkah itu menggerakkan hatimu untuk menjaga Bumi? Paling
tidak untuk mempertahankan kelangsungan tempat hidupmu? Dan sepertihalnya kita
yang tidak mau diusik, mari kita berhenti merebut suaka makhluk hidup lain.
Aku
yakin Tuhan tidak memberi manusia akal untuk menyombongkan diri dari makhluk
lain. Aku yakin Tuhan tidak memberi manusia akal untuk membunuh dan merusak
yang lain. Mari menjadi lebih bijak. Mari membuat Bumi kembali menyenangkan
seperti pertama kali kita mengenalnya.
Oleh: Arie
Eka Junia
[1] www.perubahaniklim.net/penyebab-utama-perubahan-iklim.htm
diunduh pada 23 April 2016 pukul 09.00
[2] Ibid.,
[3] https://savegreenearth.wordpress.com/2010/11/07/vegetarian-dan-kurangi-makan-daging-ikut-selamatkan-bumi/
diunduh pada 23 April 2016 pukul 09.35
[4] Dee
Lestari, Supernova:Partikel, Yogyakarta, Bentang Pustaka, hlm. 227
Tidak ada komentar:
Posting Komentar