OPEN RECRUITMENT!!! Klik "Recruitment"

Jumat, 22 April 2016

Maaf Bumi, Aku Tidak Mengingatmu

 
Sumber: Google

Aku tidak pernah ingat. Tetapi kata mereka, pada awalnya aku hanyalah perpaduan antara tulang, daging, darah, dan organ-organ penting yang menakjubkan. Kata mereka pula selama sembilan bulan aku berada dalam tempat paling nyaman dan aman: rahim ibu. Aku tidak ingat bagaimana rasanya ketika keluar dari sana. Tetapi jam dan tanggal itu telah ditetapkan sebagai hari kelahiranku, sekaligus waktu dimana untuk pertama kalinya aku berkenalan denganmu: Bumi.

Mungkin aku pelupa. Tapi aku benar-benar tidak ingat bagaimana rasanya tinggal di Bumi untuk pertama kali. Mungkin Bumi terasa hangat, mengingat ibuku langsung mendekapku untuk memberi air susu. Mungkin juga Bumi terasa terang, karena pencahayaan kamar bersalin rumah sakit yang seringkali menyilaukan. Apapun itu aku tak ingat. Tapi mungkin pada awalnya, Bumi terasa menyenangkan.

Aku mulai berkenalan dengan Bumi lewat merasakannya satu-satu: saat aku belajar merangkak dan berjalan di tanah; saat aku bermain membuat masakan dari pohon pisang dan tanaman sekitar; saat aku merasakan sendiri berlari dan basah kuyup ketika bermain di tengah hujan; juga ketika diam-diam aku sering curi-curi pandang dengan bulan bintang ketika malam. Kala itu otak kecilku mungkin tidak tahu apa-apa. Tapi aku merasai sendiri dengan seluruh indraku. Tempat bermain yang menyenangkan: Bumi.

Usialah yang kemudian membawaku ke bangku sekolah. Di sana aku banyak mendengar cerita tentang Bumi. Bagaimana bentuknya, apa komposisinya, apa material yang terkandung di dalamnya, siapa saja yang hidup di atasnya, dan berbagai cerita lain yang sebagian besar belum aku lihat dengan mataku sendiri. Semua cerita itu kemudian menjadi materi hapalan untuk kepentingan ujian kelas, atau hal akademik lainnya. Aku menjadi tahu tentang Bumi. Hanya sekedar tahu. Tidak mengenalnya, ataupun merasainya lagi.

Kemudian waktu membawaku melesat dengan berbagai hal asyik lain. Sehingga aku lupa bertanya, bagaimana kabar Bumi? Temanku semakin banyak, aku bertambah tinggi, sekolahku semakin tinggi. Tapi tidak pernah terpikirkan olehku, bagaimana keadaan Bumi?
Lagi-lagi waktu berperan sebagai penyadar orang-orang lupa sepertiku. Semua mulai menyadari bahwa dirimu, Bumi, sedang tidak baik-baik saja. Kamu demam. Suhumu meningkat. Sehingga es di kedua kutupmu mulai mencair. Badanmu panas. Karena lapisan ozonmu bolong disana-sini, menipis. Rutinitasmu menjadi berubah, Bumi. Jika dulu aku hapal benar bahwa musim hujan akan terjadi di bulan Oktober sampai Maret dan musim kemarau di bulan April sampai September, sekarang belum tentu. Hujan dan kemaraumu kini datang lebih lambat, atau kadang lebih cepat, tidak tepat waktu.

Aku cukup sadar, Bumi, sakitmu bukan tanpa alasan. Demam yang kau alami bukan karena peristiwa satu malam. Melainkan karena aktivitas manusia selama 250 tahun terakhir. Buktinya, para manusia sepertiku baru mengetahui bahwa kami menciptakan pulau baru di Samudera Pasifik. Pulau itu adalah tempat sampah plastik raksasa yang mengapung di tengah laut. Suatu akumulasi sampah dari penduduk Bumi yang acuh tentang kebersihan. Dan lihatlah, lautmu yang kaya ikan menambah kekayaan baru: sampah.

Aku suka makan daging. Tanpa aku sadar bahwa industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar (18%)[1]. Hampir seperlima dari penyebab kenaikan suhumu ternyata akibat dari berkembang pesatnya industri peternakan karena animo manusia yang besar terhadap daging. Bayangkan! Jumlah ini bahkan lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca dari seluruh alat transportasi di seluruh dunia yang hanya 13%! Ditambah lagi sektor peternakan menyumbang 9% karbon dioksida, 37% gas metana (mempunyai efek pemanasan 72 kali lebih kuat dari CO2 dalam jangka waktu 20 tahun dan 23 kali dalam jangka 100 tahun), serta 65% dinitrogen oksida (mempunyai efek pemanasan 296 kali lebih kuat dari CO2).[2] Tidak cukup itu, peternakan kini juga telah menggunakan tiga puluh persen dari total lahanmu, belum ditambah lahan untuk menanam makanan ternak. Bahkan lebih dari separuh bekas hutan di Amazon telah dialih-fungsikan menjadi ladang ternak. Kata UNEP (United Nations Environment Program) pula, pola makan daging untuk setiap orang per tahunnya menyumbang 6.700 kg CO2.[3] Oh Bumi, aku berharap bisa menjadi vegetarian!

Bumi, suatu ketika aku membaca:

“Manusia berbagi 63% kesamaan gen dengan Protozoa, 66% kesamaan dengan gen Jagung, 75% dengan Cacing. Dengan sesama kera-kera besar, perbedaan kita tidak lebih dari tiga persen. Kita berbagi 97% gen yang sama dengan orangutan. Namun, sisa tiga persen itu telah menjadikan pemusnah spesiesnya. Manusia menjadi predator nomor satu di planet ini karena segelintir saja gen berbeda.”[4]

Bisa kita lihat? Bisakah membayangkan betapa malunya aku sebagai spesies manusia yang dengan egoisnya merusak Bumi? Padahal manusia hanya salah satu jenis dari berbagai jenis makhluk hidup yang tinggal di Bumi. Tapi dalam keogeisannya, ketidakpeduliannya, dan kesombongannya, manusia telah menjadi aktor utama yang paling bertanggung jawab dengan kerusakan Bumi. Untuk mengejar kesenangan hidupnya, manusia membabi buta membakar hutan, menutup area persawahan, memburu hewan hingga punah. Manusia berubah menjadi monster yang menyeramkan untuk makhluk hidup lain.

Memang manusia makhluk pelupa. Ia tidak ingat saat pertama kali ia diluncurkan ke Bumi dengan tidak membawa apa-apa, telanjang. Tapi Bumi memberinya banyak: tempat, air, udara, semua materi untuk melangsungkan hidup. Tapi anehnya, manusia juga yang merusak tanah, air, udara, dan segala sesuatu yang menghidupinya itu. Karena keserakahannya, hutan dialih-fungsikan sebagai pengeruk kekayaan; orangutan, gajah, harimau, dan binatang lainnya terusir dari habitatnya sendiri. Gedung pencakar langit dibangun dimana-mana. Tanah tercemar, cadangan air tanah menipis, udara penuh polusi.

Sumber: Google


Jangan terkejut ketika mengetahui kini jarang sekali ada sungai yang bersih untuk bermain anak-anak seperti dulu. Jangan terkejut ketika banjir. Lha wong tanahnya ditanami beton gitu, gimana airnya mau meresap? Juga jangan terkejut jika mungkin saja nanti tidak ada udara untuk bernapas. Karena lapisan atmosfer yang terus menipis dan pohon sebagai penyuplay oksigen terus ditebas. Jangan terkejut, wahai manusia, jika mungkin suatu saat nanti hanya spesiesmulah yang tinggal sendiri di Bumi. Itukah yang kita inginkan?

Bumi sedang sakit, kita semua tahu itu. Tidakkah kita ingin berbuat sesuatu? Apa selain pelupa, manusia juga tidak tahu caranya berterimakasih? Mari kita berhenti untuk tidak peduli kepada Bumi. Mari kita mengingat Bumi. Mari kita bergerak memperbaiki Bumi. Mari mulai dengan hal-hal kecil seperti membuang dan mengolah sampah secara tepat, menanam pohon, mengurang konsumsi daging, menghemat energi, mengurangi aktivitas yang dapat mencemari air, udara, tanah, dan lain sebagainya. Tidak perlu menunggu komando orang lain. Bumi sejak awal selalu berbaik hati memberi kita tempat untuk tumbuh dan berkembang hingga seperti saat ini. Tidakkah itu menggerakkan hatimu untuk menjaga Bumi? Paling tidak untuk mempertahankan kelangsungan tempat hidupmu? Dan sepertihalnya kita yang tidak mau diusik, mari kita berhenti merebut suaka makhluk hidup lain.

Aku yakin Tuhan tidak memberi manusia akal untuk menyombongkan diri dari makhluk lain. Aku yakin Tuhan tidak memberi manusia akal untuk membunuh dan merusak yang lain. Mari menjadi lebih bijak. Mari membuat Bumi kembali menyenangkan seperti pertama kali kita mengenalnya.


Oleh: Arie Eka Junia




[1] www.perubahaniklim.net/penyebab-utama-perubahan-iklim.htm diunduh pada 23 April 2016 pukul 09.00
[2] Ibid.,
[4] Dee Lestari, Supernova:Partikel, Yogyakarta, Bentang Pustaka, hlm. 227

Contact Us

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *