Berbicara mengenai buku favorit, tentu ada daftar panjang
buku-buku yang sangat saya favoritkan. Membaca buku, bagi saya secara pribadi,
bukan hanya sebatas aktivitas membaca rangkaian kata untuk menambah pengetahuan.
Namun juga sekaligus aktivitas memahami nilai/ tujuan/ moral value yang dapat saya gunakan untuk melihat segala sesuatu di
kehidupan ini dengan perspektif yang berbeda.
Fiksi atau non fiksi? Lebih seringnya saya suka membaca
buku fiksi. Cerita fiktif dalam buku fiksi bisa membangun imajinasi liar di
kepala saya. Namun, akhir-akhir ini saya justru banyak melirik buku non-fiksi
untuk dibaca. Karena mungkin saya baru menyadari bahwa buku non-fiksi
menyuguhkan realita yang benar-benar terjadi, yang tidak kalah mengagetkan saya
seperti bacaan fiksi.
Setelah saring-menyaring dengan penuh pertimbangan,
inilah 3 buku yang meninggalkan kesan mendalam ketika saya membacanya. Dua
diantaranya adalah buku fiksi dan satunya non fiksi. Here we go!
Bagi orang yang sudah mengenal saya, tentu
tak heran ketika saya menaruh Supernova di daftar buku favorit saya kali ini.
Sungguh mohon dimaklumi, karena saya penggemar berat buku Supernova, dan
karya-karya Dewi Lestari yang lain. Tapi mengapa Supernova yang ke-5? Apa specialnya?
Well, I know maybe it’s hard to believe,
but I love this book much because of Alfa Sagala! Semua seri Supernova sama
mengagumkannya bagi saya. Namun, seri Gelombang ini, dimana kisah hidup Alfa
dituturkan, yang paling menyemangati saya untuk tidak mudah menyerah dengan
apapun.
Alfa Sagala adalah seorang anak laki-laki
yang tinggal di tanah Batak dalam keluarga yang sederhana namun orang tuanya
memiliki impian yang tinggi untuk masa depan anak-anaknya. Dari kecil, hidup
Alfa tidaklah mudah. Namun ia senang belajar lebih banyak dari yang lain.
Banyak tragedi dalam hidupnya yang kemudian membawanya dan keluarga merantau ke
Jakarta, serta kenekatannya untuk terbang ke New York. Perjuangan Alfa sebagai
imigran gelap di New Yorklah yang menyedot kesalutan saya. Ia belajar lebih
banyak untuk nilai yang sempurna, belajar aksen Amerika agar tidak dikenali
sebagai pendatang, belajar berbagai bahasa lain agar bisa terhindar dari geng
kriminal yang suka merampas uangnya, kerja part-time di beberapa tempat
sekaligus, dan berani bermimpi.
Membaca kisah hidup Alfa, membuat saya merasa
kerdil, tapi sekaligus diyakinkan bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika kita
mau berusaha dan berupaya semaksimal mungkin. Bagi saya, membaca novel ini
seperti mengonsumsi vitamin penambah semangat untuk mengejar impian.
Bukan sesuatu yang mengejutkan jika karya Pramodya menjadi favorit banyak orang. Penuturan cerita dengan bumbu sejarah membuat karya-karya Pramodya unik dan begitu diminati. Bumi Manusia merupakan novel pertama dari Tentalogi Pulau Buru. Saya jatuh cinta dengan novel ini bahkan hanya dengan membaca lembar pertama.
Novel ini bercerita tentang dua tokoh penting
di mata saya. Tokoh penting pertama, sekaligus yang menjadi tokoh utama,
bernama Minke. Ia seorang anak Bupati yang mampu bersekolah di sekolah milik
Belanda. Pergaulannya dengan orang Belanda maupun Indo (peranakan
Indonesia-Belanda) membuat cara berpakaian, berbicara, berperilaku, dan
berpikir seperti Belanda. Namun, ia memiliki banyak keresahan mengenai keadaan
pribumi, saudara setanah airnya. Tokoh penting ke dua adalah Nyai Ontosoroh. Ia
adalah gundik dari Belanda totok yang telah sukses menjalankan perusahaan
sehingga menjadi orang yang terpandang dan kaya raya. Selain itu, meskipun
tetap menggunakan pakaian kebaya khas pribumi, cara berkata, berperilaku, dan
wawasan Nyai Ontosoroh tidak kalah dengan orang Belanda. Sosok Nyai Ontosoroh
ini sangat menggambarkan perempuan yang kuat, mandiri, pekerja keras,
berprinsip, dan berpengetahuan. Nyai Ontosoroh seakan mematahkan bahwa
walaupaun statusnya hanya gundik, dimana dalam masyarakat gundik selalu
direndahkan, ia mampu mengatur dan menjalankan perusahaan sehingga semua
kalangan tunduk dan segan padanya. Ia menjelma menjadi sosok pribumi dengan
kepribadian Eropa.
Kakek Pramodya, dalam buku ini, menyajikan dengan
apik situasi Indonesia ketika dijajah oleh Belanda melalui paparan kehidupan
antara kaum pribumi, Indo, dan Belanda. Membaca novel ini seperti menyuntikkan
rasa nasionalisme dalam dada saya. Namun sekaligus merasa tertampar di beberapa
bagian ketika saya merefleksikan dengan pemikiran dan kontribusi saya kepada
bangsa Indonesia saat ini. Satu kutipan yang saya sukai sekaligus saya tanamkan
dalam diri adalah: “Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sejak dalam
pikiran, apalagi dalam perbuatan.”
Ini adalah buku import pertama yang saya
miliki, tapi bukan buku import pertama yang saya baca. Sekaligus, ini buku non
fiksi (selain buku kuliah) pertama saya
yang berbahasa Inggris (bukan terjemahan). Saya tahu buku ini secara tidak
sengaja di sosial media. Komentar dari Red
Magazine di sampul depannyalah yang membuat saya tertarik untuk membeli dan
menantikan 1,5 bulan kedatangan buku ini. “If
you are feeling tired and fed up and wondering if there is more to life, now’s
the time to read Thrive”
Awalnya saya penasaran karena banyak review
yang berkata bahwa buku ini berisi tentang “how
is woman to success”. Apalagi penulisnya Arianna, yang namanya telah masuk
dalam jajaran “The World’s 100 Most
Influential People” sekaligus pendiri Huffington
Post. Saya pikir, buku ini akan berisi kiat-kiat maupun tips dan trik menjadi
wanita sukses. Tapi ternyata salah besar.
Dalam buku ini, Arianna justru meyakinkan
bahwa pencapaian yang diraihnya bukanlah sukses dalam hidup yang ia dambakan.
Alih-alih mendapatkan resep sukses duniawi ala Arianna, ia justru mengajak
untuk lebih care/aware/love with our self
(body/ mind/ soul). Dapat dikatakan, Arianna sukses menjungkirbalikkan definisi
sukses dalam hidup saya sekaligus membuat saya membentuk definisi sukses yang
baru dan lebih komprehensif. Percayalah, hal-hal material (finansial, pencapaian,
dll) tidak menjadi fokus dalam buku ini. Tetapi justru ada 4 pembahasan utama; Well-being, Wisdom, Wonder, dan Giving. Kesemuanya itu menitikberatkan
pada kesejahteraan manusia secara holistik. Bagaimana menghindari dan
menghadapi stress, mindfulness,
istirahat yang berkualitas, dan lain sebagainya.
Sejujurnya, saya belum menamatkan membaca
buku ini. Bukan terkendala bahasa karena bahasa Inggris yang Arianna gunakan
sangat mudah dimengerti. Namun memang buku ini penuh data untuk membuktikan argumen
yang dilontarkan, sekaligus buku ini penuh nilai-nilai kehidupan yang perlu
saya pahami perlahan. Di bagian awal, buku ini memunculkan pertanyaan “What is good life?” dan di tengah
memunculkan kutipan yang saya suka: “What
is success? It is being able to go to bed each night with your soul at peace
(Paulo Coelho)”
Begitulah pemaparan tiga buku
favorit saya. Tentu kesan yang saya dapatkan dari buku-buku tersebut sangat
subjektif. Namun kesemuanya adalah buku yang berkualitas dari penulis keren
idola saya. At last, what’s your
favourite book(s)?
Penulis:
Arie Eka Junia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar